Dampak Akibat Pandemi, Para Pengusaha Sound di Klaten Menjual Aset di Tepi Jalan

Klaten - Sejumlah pemilik usaha persewaan alat stereo di Kabupaten Klaten melakukan aksi jual aset di pinggir jalan. Aksi tersebut dilakukan setelah usaha mereka sepi work dan mulai berjatuhan selama pandemi COVID-19.

"Sudah dua tahun kami tidak kerja, tidak ada tanggapan (acara) sejak ada Corona. Kalau laku ya kita jual, tidak ada jalan lainnya," kata ketua Komunitas Stereo Klaten (KSSK), Dedy Kid, saat memajang perangkat sound di tepi Jalan Yogya-Solo, Desa Klepu, Kecamatan Ceper, Senin (9/8/2021).

Dedy menjelaskan, anggotanya saat ini sekitar 65 orang dari wilayah Klaten timur. Setiap pemilik sound rata-rata mempekerjakan tiga sampai empat orang.

"Kita anggota sekitar 65 orang, ini belum seluruh Klaten. Tiap pemilik dibantu very little tiga orang tapi semua berhenti tidak kerja," lanjut Dedy.

Selama dua tahun pandemi, ungkapnya, tidak ada pemasukan dari sewa alat. Di sisi lain, bagi yang memiliki angsuran financial institution, tagihannya terus berjalan.

"Financial institution tidak mau tahu soal angsuran, kita mau ngajukan bantuan tidak berani. Sementara kita juga butuh makan, anak sekolah dan lainnya," ujar warga Kecamatan Ceper ini.

Pihaknya berharap pemerintah memberikan solusi terkait kondisi ini. Solusinya, kata Dedy, tidak harus berupa bantuan materi tetapi minta kelonggaran izin penyelenggaraan acara atau hajatan.

"Kita berharap ada kelonggaran, hajatan dan acara diizinkan. Soal aturan prokes kita juga siap nggak masalah kita siap taat," katanya.

Pemilik usaha sewa alat stereo lain, Herman, mengatakan selama pandemi ini dia tidak ada pemasukan. Padahal usahanya itu untuk menghidupi keluarga.

"Pemasukan tidak ada, padahal namanya kita berkeluarga. Ya pernah ada tanggapan satu dua di bulan Maret tahun lalu tapi tidak cukup," kata Herman.

Herman mengatakan, modal seperangkat noise bisa dari Rp 50 juta-Rp 200 juta tergantung kualitas alat. Modal pembelian alat noise mayoritas dari pinjaman bank.

"Persewaan sepi, kebutuhan keluarga harus dipenuhi, angsuran tidak berhenti. Kadang ya cari sana-sini bayar angsuran financial institution, kalau laku kita jual," kata Herman asal Kecamatan Juwiring, Klaten.

Herman berharap pemerintah memberikan kelonggaran penyelenggaraan acara. Sehingga usaha persewaan audio bisa terus berjalan.

"Kita minta solusinya pada pemerintah. Kita tahu pemerintah menomorsatukan kesehatan masyarakat tapi mbok ya diperbolehkan, kita siap prokes," lanjutnya.

Pemilik usaha sound lainnya, Adi, mengatakan usahanya berhenti total sejak dua tahun.

"Sudah dua tahun tidak ada tanggapan karena sound saya untuk pentas wayang yang selama pandemi juga macet. Sedangkan angsuran per bulan sekitar Rp 2 juta," kata Adi.

Senada juga disampaikan, Joko, yang mengaku sejak 15 tahun membuka usaha persewaan sound, baru dua tahun ini macet karena pandemi.

"Pinjaman belum lunas karena usaha audio itu terus beli dan ganti alat. Satu kali hajatan sewanya kisaran Rp 1,5 juta tapi setelah Corona hajatan kecil saja tidak ada, anak saya dua juga butuh biaya," kata Joko asal Kecamatan Pedan.

Pantauan detikcom di lokasi, para pengusaha audio itu berkumpul sekitar pukul 13.00 WIB di tepi jalan Yogya-Solo. Mereka datang dengan mobil bak terbuka berisi peralatan sound system.

Para pemilik berganti menawarkan audio mereka kepada pengguna jalan melalui pengeras suara dan memasang poster. Ada yang ditawarkan Rp 30 juta sampai Rp 50 juta satu collection.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seorang Pengungsi Asal Afghanistan Bakar Diri di Medan, Diduga Karena Stres Dan Depresi

Anggota Komisi III DPR Menanggapi Kasus Penolakan Laporan Warga Oleh Oknum Polisi